Senin, 16 September 2019

PEMIKIRAN KGPA MANGKUNEGORO IV


Mengupas Pemikiran KGPAA Mangkunegoro IV “Mendem Agama” melupakan hakekatnya

Oleh : Pangeran Karyonagoro

✍️ Durung pecus, kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendak-pendak angendak gunaning janma.
(Serat Wedatama pupuh pucung bait ke-06)

[sesungguhnya Ilmu mereka belum memadai, tetapi tergesa-gesa merasa diri mereka sudah seperti ulama, tergesa-gesa merasa diri mereka seperti ulama, sehingga memaknakan doa-doa dan ayat-ayat suci, seperti sayid lulusan Mesir. Setiap kali menyalahkan kepandaian orang.]

Arti perkata, durung, dereng artinya belum, pecus, becus artinya bisa, mampu sesuatu. Kesusu, kesesa artinya tergesa-gesa melakukan sesuatu. Keselak, keselek kata dasarnya selak, selek artinya cepat-cepat (dadakan) segera. Besus artinya serba bersih dan baik. Amaknani dari kata makna dari bahasa Arab artinya keterangan, penjelasan, surasa, lapal dari bahasa Arab yakni lafal artinya kata-kata yang digunakan untuk berdoa (doa-doa, ayat-ayat Al-Quran).

Kaya artinya seperti, sayid dari bahasa Arab jamaknya adalah sādah artinya tuan. Weton bentukan dari kata wetu, wedal, wiyos artinya asal dari. Mesir artinya Mesir nama negara di Timur Tengah. Pendak-pendak artinya sering. Angendak artinya meremehkan. Gunaning, piguna dari kata guna artinya berguna (ilmunya). Janma, jalma artinya manusia, sesama manusia.  

“Orang-orang yang membanggakan dirinya merasa sudah pintar dalam berucap dan mengartikan doa-doa dan ayat-ayat suci”. Dengan tegas dan jelas Mangkunegara IV mengatakan “durung pecus, kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendak-pendak angendak gunaning janma”, artinya belum cakap atau belum mampu (dalam ilmu tertentu), namun tergesa-gesa ingin cakap atau mampu (dalam ilmu tertentu) dengan baik. Sehingga memaknakan doa-doa dan ayat-ayat suci, seperti sayid lulusan Mesir. Setiap kali menyalahkan kepandaian orang.

Kata cakap definisi dari KBBI adalah pandai, mahir, mampu atau sanggup melakukan sesuatu hal. Artinya orang yang cakap adalah orang yang mempunyai kemampuan suatu hal, pandai atau orang yang mahir dalam bidang keilmuan tertentu. Ini yang dimaksud orang yang pecus, becus, yakni yang matang dalam berpikir dan bertindak.

Orang Jawa mengatakan orang yang tidak sanggup sesuatu hal dengan kata “wong ora pecus atu becus” atau “durung pecus atu becus”. Orang yang sudah “pecus” akan menjadi “wong beneh”. Dalam konsep ilmu padi semakin “tua semakin  menunduk”, tidak mudah menyombongkan dirinya dan ilmunya.

Bagi orang yang “durung pecus, kesusu kaselak besus” merupakan indikator bagi orang-orang yang tidak pandai namun berlagak sok pandai, sok pintar, sok bisa, dan bilang sudah menguasai sesuatu namun belum menguasai apapun. Orang yang seperti ini mudah membanggakan ilmunya dan menyombongkan dirinya. Jiwa ke-akuan-nya tinggi dan tidak bisa sumeleh. Ketika jiwa ke-akuan-nya tinggi akan membentuk karakter “sapa sira, sapa inggsun”. Akumulasinya orang akan mudah berbuat “adigang, adigung, adiguna, adiwicara”.

Mengkunegara IV menjelaskan dengan kalimat “amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendak-pendak angendak gunaning janma”, (sehingga memaknakan doa-doa dan ayat-ayat suci, seperti sayid lulusan Mesir, setiap kali menyalahkan kepandaian orang lain).

Dari pernyataan Mangkunegara IV ada hal-hal yang menarik. Pertama, dalam kajian kebahasaan yakni sosiolinguistik adanya interferensi bahasa yakni dari bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa, ini yang dinamakan kedwibahasaan. Misal kata amaknani dari kata makna, lapal dari kata lafal dan sayid.  Dapat diprediksi pada jamannya Serat Wedatama dibuat atau digubah pada periode perkembangan Islam sedang massif, di sisi lain banyak yang belajar di Timur Tengah sehingga digunakannya kosa kata bahasa Arab. Dan merupakan sebuah upaya untuk mengakomodir Islam ke dalam budaya Jawa melalui bahasa. Perpaduan-perpaduan ini merupakan bentuk-bentuk atau model-model Islam Jawa.

Kedua, digunakannya kata sayyid dan Mesir. Kata sayyid merujuk pada keturunan Nabi yang mempunyai kedudukan mulia, terhormat, dan layak dihormati. Apabila ditilik dari kesejarahannya sebelum pra-Islam, kata sayyid lazim dipakai untuk sebutan orang-orang yang memiliki sejumlah keutamaan. Sayyid dipandang mulia, terhormat, luhur, terkenal, atau agung di komunitas tertentu.

Makna sayyid adalah tuan, di Jawa semakna dengan kata raden, dari kata rahadian artinya tuan. Raden merupakan gelar kebangsawanan keturunan raja di Jawa. Kata raden juga digunakan untuk menyebut keturunan Kiai (anak laki-laki) dengan nama Gus dari kata den bagus, kata den bentukan dari kata raden, rahadian. Sehingga arti dari Gus adalah tuanku yang bagus.

Indikasi lainnya kata sayyid dalam Serat Wedatama merupakan sebuah counter dan adanya sentimen agama pada waktu itu. Serat Wedatama diklaim sebagai puncak estetika sastra Jawa abad ke-19. Pada abad ke-19 yang sangat didominasi oleh para ulama yang terpengaruh oleh paham-paham dari Timur Tengah, terkhusus Wahabiyah. Dan ini sebagai kritik terhadap konsep pengajaran Islam yang ortodoks, mencerminkan pergulatan budaya Jawa dengan gerakan pemurnian Islam pada waktu itu.

Sedangkan kata Mesir mempresentasikan sebuah negara yang mempunyai peradaban besar dan gudangnya para Ulama artinya orang-orang pintar (cendekia). Dan di Mesir juga ada kampus tertua yakni Al-Azhar.

Orang-orang yang semacam itu oleh Mangkunegara IV dikatakan sebagai orang sombong, orang yang mempunyai pemikiran langka, tidak mudah diikuti, dan lebih mementingkan kebudayaan bangsa lain dari pada kebudayaan bangsa sendiri. Hal semacam itu merupakan suatu hal yang sia-sia atau percuma. Jauh-jauh belajar ke negeri orang sampai Mekkah namun tidak diaplikasikan di negeri sendiri dengan baik dan disesuaikan dengan konteks budayanya sendiri.

✍️ Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok jawane (jamane) den mohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah (Serat Wedhatama pupuh Pucung bait ke-07)

[tabiat seperti itu adalah tabiat orang yang sombong, berpikiran langka, artinya sukar diikuti dan yang lebih aneh lagi ilmu dan kebudayaan berasal dari zaman serta bangsa sendiri tidak ia sukai. Ia lebih menyukai ilmu dan kebudayaan bangsa lain dan susah payah menuntut ilmu di negeri orang.]

Dapat disimpulkan Mangkunegara IV merupakan orang Jawa jenius mampu menganalogikan seperti ulama lulusan Mesir bahkan belajar sampai di Mekkah. Pada akhirnya dengan kepintarannya mudahnya sedikit-sedikit menyalahkan orang lain. Tidak melihat konteks dengan budayanya sendiri, lebih suka budayanya bangsa asing.

Hal ini sangat mungkin sesuai dengan kenyataan saat ini, fenomenanya banyak sekali di masyarakat dari segi bahasa mulai digunakan bahasa ukhti, akhwat, ikhwan dan sebagainya. Seakan-akan menutup diri tidak mau tahu dengan keadaan di sekatarnya yakni sosial masyarakat. Hipotesanya adalah akar budaya sendiri harus kuat menancap dalam sanubari, sehingga mampu mempunyai pondasi kebudayaan saat terjadi intervensi budaya-budaya asing. Tidak latah dan tidak gagap dalam menghadapi perubahan.

Jawa kuat ke-Jawan-nya, kedalaman rasanya, sampai pada manunggaling kawula-Gusti. Dalam konsepsi Islam dikenal mencapai maqam makrifatullah. Maka orang-orang yang demikian yang memiliki kedalaman hakikat dan merayakan budayanya sendiri.

Rahayu Sagung Dumadi 🙏🏻

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2599995553390401&id=100001399444697