Minggu, 23 Juni 2019

KETUHANAN MENURUT JAWA

KETUHANAN MENURUT JAWA KUNO.

Kali ini kita akan mengenal pengajaran Śiwa Buddha. Agama yang dianut masyarakat Jawa masa Majapahit dan yang lebih tua. Agama ini merupakan gabungan dari agama Śiwa, agama Buddha dan agama asli leluhur Jawa yang disebut agama Jawadīpa. Ketika kita menyebut Śiwa Buddha itu artinya merujuk pada tiga ajaran yang melebur jadi satu yaitu agama Śiwa, Buddha dan Jawadīpa. Kini kita akan membahas tentang Ketuhanan menurut orang Jawa Kuno.

Sebelum membahas tentang Ketuhanan, ada baiknya diketahui dahulu tentang Hakekat Kesadaran dan Ketidak Sadaran atau Cetana dan Acetana.

• Cetana berarti Sumber Kesadaran. Apa pun yang memiliki Kesadaran bisa dikatakan memiliki Cetana. Dan Kesadaran senantiasa melekat pada makhluk yang memiliki kehidupan. Dengan demikian, Cetana tiada dapat dipisahkan dari hidup.

• Acetana berarti Sumber Ketidaksadaran. Apa pun yang memiliki Ketidaksadaran bisa dikatakan memiliki Acetana. Ketidaksadaran senatiasa melekat kepada benda mati atau kepada makhluk hidup yang kehilangan kesadarannya. Kesadaran sendiri bisa dibedakan menjadi dua hal, yaitu: Kesadaran-Jaga (awareness), yaitu kesadaran mengetahui ruang dan waktu, dan Kesadaran-Kepahaman (conciousness), yaitu kesadaran karena mendapatkan pemahaman. Benda mati jelas tidak memiliki Kesadaran-Jaga sekaligus Kesadaran-Kepahaman, namun makhluk hidup akan senantiasa memiliki Kesadaran-Jaga namun belum tentu memiliki Kesadaran-Kepahaman. Acetana sediri bisa disebut sebagai Māyā. Māyā berarti Ilusi, sesuatu yang menangkupi kesadaran makhluk hidup sehingga ia tidak mengetahui lagi hakikat diri sejatinya.

 Sumber Kesadaran atau Cetana terdiri dari tiga keberadaan. Perinciannya sebagaimana berikut ini:

1.  Sanghyang Paramaśiwa (Kemuliaan Yang Tertinggi)

Sanghyang Paramaśiwa adalah Sumber Segala Sumber. Sanghyang Paramaśiwa adalah asal dan tujuan seluruh makhluk, baik yang memiliki kesadaran maupun yang tidak memiliki kesadaran. Sanghyang  Paramaśiwa melampaui segalanya sekaligus segalanya. Dia kerap disebut dengan nama Tuhan. Sesuatu yang tidak tergambarkan oleh apa pun. Sesuatu yang tidak bisa diwacanakan dengan apa pun. Tiada beraktivitas, tiada terguncang, tiada bergerak, tiada mengalir, tanpa asal-usul, tanpa tujuan, tanpa awal, tanpa akhir, senantiasa berkeadaan tetap, tanpa gerakan, diam dan abadi. Seluruh semesta terliputi oleh-Nya. Dipenuhi, diliputi, disangga secara total Sapta Bhuwana oleh-Nya. Sapta Bhuwana adalah tujuh alam atas. Sapta Pātāla pun diliputi oleh-Nya. Sapta Pātāla adalah tujuh alam bawah.

Tidak bisa dikurangi, tidak bisa ditambahi, tanpa tujuan, tak dapat diusik oleh segala keburukan maupun kebaikan, tak dapat dikenali secara keseluruhan, tanpa mengenal masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, tidak tersekat waktu, senantiasa siang keberadaan-Nya dan tak ada sesuatu pun yang dapat hilang dari-Nya, Dia abadi. Dia adalah sangkan paraning dumadi, yaitu asal dan tujuan dari segala hal yang telah menjadi. Dia bukan pribadi sekaligus Dia juga bukan tanpa-pribadi. Dia melampaui kepribadian dan bukan kepribadian, sekaligus kepribadian dan bukan kepribadian itu sendiri. Sanghyang  Paramaśiwa adalah sesuatu yang tak dapat digambarkan. Dia hanya bisa dialami. Dialah keberadaan yang bukan keberadaan sekaligus melampaui segala keberadaan.

Dia Tuhan Yang Sesungguhnya. Dia senyatanya Śūnyata alias Kosong. Namun Śūnyata bukan berarti kosong tanpa arti. Śūnyata berarti kosong memiliki potensi. Memiliki potensi namun kosong. Kosong tapi isi, isi tapi kosong. Untuk memudahkan bagi akal pikiran kita memahami keberadaan Tuhan Yang Sesungguhnya walaupun hal ini tidak mungkin karena akal pikiran kita sangat terbatas, Dia bisa divisualisaikan sebagai Maha Energi Dahsyat yang menjadi pondasi, intisari, yang menghidupi, bahkan tidak hanya menghidupi, juga menjiwai seluruh makhluk hidup. Dialah inti dari seluruh makhluk hidup. Oleh karenanya Dia juga pantas disebut Sanghyang Urip atau Yang Maha Hidup. Sebagai energi Dia tidak memiliki pribadi, namun Dia punya kecerdasan dan kemampuan dahsyat yang tidak bisa diukur sehingga seolah-olah memiliki pribadi. Tuhan Yang Sejati sebagai pribadi sepenuhnya adalah omong kosong. Tuhan memiliki pribadi seutuhnya masuk dalam kategori kedua di bawah ini.

2.  Sanghyang  Sadāśiwa (Kemuliaan Tanpa Batas)

Sanghyang Sadāśiwa bisa dikatakan sebagai perwujudan dari  Sanghyang Paramaśiwa yang dipenuhi Sarwajña (Mahatahu) dan Sarwakāryākartā (Maha Beraktivitas). Sarwajña Sarwakāryākartā (Mahatahu dan Maha Beraktivitas) sendiri diwujudkan dalam bentuk Padmāsana atau singgasana teratai yang merupakan tempat duduk Sanghyang Sadāśiwa. Tempat duduk tersebut dikenal dengan nama Caduśakti. Perinciannya sebagaimana berikut:

1. Jñānaśakti (Kesaktian Pengetahuan). Jñānaśakti memiliki tiga perbedaan:

a. Dūrādarśana (melihat segala hal yang jauh maupun yang dekat).
b. Dūrāśrawana (mendengar segala hal yang jauh maupun yang dekat).
c. Dūrātmaka (mengetahui gerak batin yang jauh maupun yang dekat).

2. Wibhuśakti (Kesaktian Meliputi Segalanya). Tak ada kekurangan-Nya di seluruh semesta.
3. Prabhuśakti (Kesaktian Kekuasaan). Tak dapat dihalangi segala yang menjadi kehendak-Nya.
4. Kriyaśakti (Kesaktian Tindakan). Dia yang membantu proses pemunculan seluruh semesta ini

Dia mampu melihat dengan jelas seluruh semesta. Dia mampu menguasai alam Sakala dan alam Niṣkala. Dengan kata lain, Sanghyang Sadāśiwa adalah Saguṇa Brahman atau Tuhan yang memiliki sifat. Sedangkan Sanghyang Paramaśiwa adalah Nirguṇa Brahman atau Tuhan yang tanpa memiliki sifat. Sanghyang Sadāśiwa sepenuhnya berpribadi.

Ada banyak sosok Sanghyang Sadāśiwa di semesta ini. Mereka menjadi tempat penyembahan manusia dengan banyak macam agama mereka masing-masing. Mereka adalah perwujudan dari Tuhan, perwujudan Sanghyang Paramaśiwa, tapi mereka bukanlah Tuhan Yang Sebenarnya. Dengan banyaknya keberadaan Sanghyang Sadāśiwa di seluruh semesta ini, bisa jadi salah satunya adalah Tuhan yang Anda sembah dalam agama Anda.

3. Ātmika (Ruh atau Cikal-Bakal Ruh)

Ātmika adalah percikan Sanghyang Paramaśiwa yang menjadi cikal-bakal kehidupan seluruh semesta berikut makhluk yang menghuninya. Ātmika bisa disamakan dengan cikal-bakal Ruh. Ātmika sesungguhnya adalah Sanghyang Paramaśiwa yang mengenakan sifat Ūtaprota. Secara harfiah, Ūtaprota berarti “menyatu dalam rangkaian tenunan sekaligus tercerabut dari rangkaian tenunan”. Ūtaprota adalah simbol dari keberadaan Tuhan yang menyatu dengan semesta sekaligus melampaui semesta.  Yang dimaksud dengan Ūta adalah bagaikan api di dalam sebatang kayu, tiada kentara keberadaannya, seperti halnya Sanghyang Paramaśiwa ketika menyelusup kepada Māyā, tiada kentara, tiada dapat dilihat dan diketahui. Māyā sendiri adalah Ilusi, yaitu tirai tebal yang sanggup mengelabui kesadaran seluruh makhluk. Māyā inilah musuh manusia yang sebenarnya.

Adapun Prota dijelaskan bagaikan permata Sphaṭika atau kristal yang sangat jernih berkilauan, yang kemudian bersalin warna karena tersaput warna merah dari Māyā. Proses ketersaputan tersebut tiada dapat dilihat dan diketahui. Api di dalam kayu adalah simbol dari penyatuan Sanghyang Paramaśiwa dengan semesta dan permata Sphaṭika yang tersaput warna merah adalah simbol dari pelampauan Sanghyang  Paramaśiwa atas semesta. Mengapa permata Sphaṭika menjadi simbol pelampauan? Meskipun permata Sphaṭika tersaput warna merah dari Māyā, namun dirinya sendiri tetap tidak akan pernah berubah warna menjadi merah. Dirinya tetap bening berkilauan. Sanghyang Paramaśiwa yang mengenakan sifat Ūtaprota inilah yang disebut Ātmika atau cikal-bakal Ruh. Dan puncak dari spiritualitas adalah memisahkan sang permata atau cikal-bakal Ruh tersebut dengan warna baru yang menyaputnya, sehingga sang permata atau cikal-bakal Ruh menemukan kembali warna beningnya. Ini berarti Ātmika akan sepenuhnya kembali menjadi Sanghyang Paramaśiwa.

Sanghyang Paramaśiwa meliputi dan menyusup ke dalam Māyā. Sedangkan Māyā sepenuhnya adalah kotoran. Itulah mengapa dikatakan bahwa Sanghyang Paramaśiwa terhiasi, terwarnai warna merah nan kotor, sehingga seolah-olah hilang kesadaran dan kesaktian dari Sanghyang Paramaśiwa. Namun sesungguhnya tidaklah demikian, sebab hanya Cetana-Nya saja, Kesadaran-Nya saja yang terlekati kotoran. Sehingga Cetana-Nya seolah-olah menjadi tidak aktif; berhenti Sarwajña (Mahatahu) dan Sarwakāryakārta (Maha Beraktivitas). Pada titik tertentu Cetana-Nya benar-benar menjadi sangat kecil. Kondisi ketika Cetana Sanghyang  Sadāśiwa menjadi sangat kecil ini yang lantas disebut Ātmika atau cikal-bakal Ruh. Perumpamaannya bagaikan matahari atau Sanghyang Āditya, keberadaannya hanya satu. Cahayanya selain aktif pada dirinya sendiri sekaligus juga aktif menyebar ke segenap penjuru semesta, menyinari yang buruk maupun yang baik, yang busuk maupun yang wangi.

Dari pemaparan di atas, manusia Jawa Kuno sudah bisa memahami hubungan antara Tuhan Yang Sejati dengan manusia. Tuhan adalah Maha Ruh dan manusia adalah Ruh percikan-Nya. Tuhan Yang Sejati adalah Sanghyang Paramaśiwa dan manusia adalah percikan-Nya atau Atmika. Di antara kedua hubungan pribadi ini terdapat makhluk-makhluk Illahi yang disebut sebagai Sanghyang Sadāśiwa, mereka adalah makhluk-makhluk Illahi yang akan membantu manusia untuk menemukan hakikat diri manusia itu sendiri. Makhluk-makhluk ini sepenuhnya berpribadi dan merekalah yang kerapkali disembah oleh banyak penganut agama di dunia.

Apakah penyembahan semacam ini bisa dibenarkan? Sebenarnya dibenarkan karena mereka ini telah menyentuh Hakekat Ketuhanan dan tidak memiliki kepentingan kecuali membantu para penyembah-Nya untuk meraih Hakekat Ketuhanan serupa. Namun ada beberapa makhluk yang masih besar cemburu sehingga mereka tidak bisa menerima jika ada makhluk lain yang disembah selain diri mereka.

Tuhan Yang Sejati, Sanghyang Paramaśiwa tidak membutuhkan sembah dan tidak butuh diakui. Sanghyang Sadāśiwa-lah yang masih membutuhkan sembah dan butuh diakui, walau kadar kebutuhan mereka berbeda seiring pencerahan yang mereka dapatkan. Semakin tipis rasa keakuan mereka, semakin tinggi Hakekat Ketuhanan yang mereka capai. Semakin tebal rasa keakuan mereka, sehingga masih kerap mengancam juga masih suka murka, maka semakin rendah Hakekat Ketuhanan yang mereka capai.

Memahami akan hal ini, manusia Jawa Kuno sama sekali tidak tertarik dengan sembah-menyembah. Mereka lebih memilih masuk ke dalam diri, mencari dan menyentuh percikan Sanghyang Paramaśiwa di dalam dirinya. Sehingga manusia bisa terhubung langsung dengan Tuhan Yang Sejati, tidak harus melalui perantara Sanghyang Sadāśiwa. Tidak harus terbelenggu dengan ritual  sembah-menyembah, cukup hanya dengan diam melakukan manekung semata.

Semoga penjelasan singkat ini bisa menunjukkan pemahaman Ketuhanan manusia Jawa Kuno yang tidak tertarik untuk menyembah Tuhan-Tuhan personal atau Dewa-Dewa personal. Mereka lebih tertarik untuk masuk ke dalam diri, menemukan hakekat Curiga Manjing Warangka (Keris yang masuk ke dalam sarungnya). Curiga adalah Ruh manusia, warangka adalah jasad manusia. Dan di dalam Ruh manusia semua rahasia bisa ditemukan karena Ruh adalah percikan Tuhan Yang Sejati, Sanghyang Paramaśiwa.

Yang paham selamat. Yang belum paham silakan dibaca pelahan dan berulang. Jika masih belum paham juga kelak juga akan paham. Yang belum paham keburu marah minta diruqyah secara khusus.

Yang mau copy paste silakan, tapi sebutkan sumbernya. Banyak copy paste tidak pernah beli buku kami, awas. Wwkwkwkw....

Damar Shashangka
Bogor, 22 Juni 2019.